Dalam suatu kesempatan, syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah pernah ditanya, “Bagaimana umat manusia akan dipanggil pada hari kebangkitan? Apakah Allah akan memanggil mereka dengan bahasa Arab? Bernahkan bahasa penghuni neraka adalah bahasa Persia dan bahasa Arab adalah bahasa surge? Secara ringkas ia menjawab, “Tak seorang pun yang mengetahui bahasa apa yang digunakan umat manusia pada saat itu, begitu juga bahasa yang digunakan Allah, karena Dia tidak pernah menyampaikan sesuatu pun mengenai hal tersebut, begitu pula Nabi-Nya (Muhammad Saw.). Tidak benar bahasa penghuni neraka adalah bahasa Persia dan bahasa penghuni surge adalah bahasa Arab. Para sahabat pun menghindari diskusi yang berhubungan dengan hal tersebut karena dianggap tidak bermanfaat.
Coba bayangkan seandainya Ibn Taymiyyah mengiyakan pertanyaan di atas! Konsekuensinya mungkin akan beragam. Yang pasti, orang Persia (Iran) akan sangat marah sementara orang Arab sendiri akan tersenyum dan merasa orang paling bahagia dan mulia dunia akhirat. Lalu, kita yang bahasanya tidak masuk dalam pembicaraan di atas paling tidak akan merasa diabaikan oleh Islam yang konon katanya agama universal dan rahmat bagi seluruh alam. Untung saja, sebagaimana bukunya “Majm?’ al-Fatw?”, ulama ini memberikan jawaban yang bukan saja bijaksana, melainkan juga logis, ilmiah serta selaras dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Oleh karena itu, pembaca penutur non-Arab atau yang tidak bisa berbahasa Arab tidak perlu mengkhawatirkan situasi kebahasaan di surge. Selain tidak tepat karena kekhwatiran dan ketakutan bersifat khas duniawi, bukanlah Allah juga telah menjanjikan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh tidak akan memiliki sedikit pun ketakutan dan kesedihan pada diri mereka? Jadi, persoalannya bukan mengenai situasi surge, melainkan jalan menuju surge atau dengan kata lain cara agar bisa sampai disana dan selamat dari neraka. Apakah menjadi orang Arab atau bisa berbahasa Arar merupakan bagian dari cara tersebut? Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap bahasa Arab di antara bahasa-bahasa tersebut?
Terlepas dari beberapa teori asal-usul bahasa, Islam memandang bahasa merupakan bagian dari ciptaan Allah dan Dia pulalah yang mengajarkannya pertama sekali kepada manusia pertama yaitu Adam a.s (al-Qur’an, 2:31). Bahasa merupakan perangkat kesempurnaan manusia yang tidak dianugerahkan kepada makhluk lain. Tumbuh dan berkembangnya bahasa-bahasa diperkirakan berlangsung secara alamiah mengikuti proses terbentuknya suku-suku bangsa sebagaimana scenario ilahiah yang disebut dalam al-Qur’an (49:13). Dalam konteks ini, secara umum semua bahasa memiliki dimensi religious dan spiritual. Namun demikian, harus diakui, suka atau tidak suka, bahasa tertentu memang memiliki kedudukan dan status spesial dalam sebuah agama. Dalam Islam, bahasa tersebut adalah bahasa Arab. Mengapa? Karena bahasa Arab merupakan bahasa nabi dan rasul terakhir Muhammad Saw. Yang notabene orang Arab sekaligus sebagai bahasa wahyu yang diturunkan kepadanya, yaitu Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Satu hal lagi yang membuat bahasa ini istimewa adalah statusnya sebagai bahasa ibadah mahdah yang tidak bisa digantikan oleh bahasa lain. Selain itu, bahasa ini juga merupakan bahasa hadits Nabi serta kitab-kitab utama mengenai ajaran Islam. Oleh karena itu, mustahil memisahkan bahasa Arab dari Islam. Ibn Taymiyyah dalam irat al-Mustaqim bahkan berkesimpulan bahwa bahasaArab merupakan bagian Islam dan mempelajarinya merupakan salah satu tugas wajib. Mengacu pada prinsip jurisprudesi Islam (kaidah usul fikih) mengenai kesamaan hukum alat dan tujuan, ia berargumen, “Jika memahami Al-Qur’an dan hadits merupakan kewajiban, sementara keduanya tak mungkin dipahami tanpa memahami bahasa Arab, maka memahami bahasa Arab juga merupakan kewajiban”. Singkatnya, jika belajar Al-Qur’an dan Hadits wajib, maka belajar bahasa Arab pun hukumnya juga wajib. Jadi, keistimewaan bahasa Arab terletak pada peran dan fungsinya dalam memahami ajaran Islam. Dengan demikian, menjadi penutur Arab atau menguasai bahasa Arab tidak lantas membuat seseorang otomatis masuk surga. Rasulullah dalam sebuah hadits mengingatkan bahwa kualitas seseorang buka ditentukan oleh bahasa maupun asal-usul etniknya, melainkan ketakwaannya.
Coba bayangkan seandainya Ibn Taymiyyah mengiyakan pertanyaan di atas! Konsekuensinya mungkin akan beragam. Yang pasti, orang Persia (Iran) akan sangat marah sementara orang Arab sendiri akan tersenyum dan merasa orang paling bahagia dan mulia dunia akhirat. Lalu, kita yang bahasanya tidak masuk dalam pembicaraan di atas paling tidak akan merasa diabaikan oleh Islam yang konon katanya agama universal dan rahmat bagi seluruh alam. Untung saja, sebagaimana bukunya “Majm?’ al-Fatw?”, ulama ini memberikan jawaban yang bukan saja bijaksana, melainkan juga logis, ilmiah serta selaras dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Oleh karena itu, pembaca penutur non-Arab atau yang tidak bisa berbahasa Arab tidak perlu mengkhawatirkan situasi kebahasaan di surge. Selain tidak tepat karena kekhwatiran dan ketakutan bersifat khas duniawi, bukanlah Allah juga telah menjanjikan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh tidak akan memiliki sedikit pun ketakutan dan kesedihan pada diri mereka? Jadi, persoalannya bukan mengenai situasi surge, melainkan jalan menuju surge atau dengan kata lain cara agar bisa sampai disana dan selamat dari neraka. Apakah menjadi orang Arab atau bisa berbahasa Arar merupakan bagian dari cara tersebut? Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap bahasa Arab di antara bahasa-bahasa tersebut?
Terlepas dari beberapa teori asal-usul bahasa, Islam memandang bahasa merupakan bagian dari ciptaan Allah dan Dia pulalah yang mengajarkannya pertama sekali kepada manusia pertama yaitu Adam a.s (al-Qur’an, 2:31). Bahasa merupakan perangkat kesempurnaan manusia yang tidak dianugerahkan kepada makhluk lain. Tumbuh dan berkembangnya bahasa-bahasa diperkirakan berlangsung secara alamiah mengikuti proses terbentuknya suku-suku bangsa sebagaimana scenario ilahiah yang disebut dalam al-Qur’an (49:13). Dalam konteks ini, secara umum semua bahasa memiliki dimensi religious dan spiritual. Namun demikian, harus diakui, suka atau tidak suka, bahasa tertentu memang memiliki kedudukan dan status spesial dalam sebuah agama. Dalam Islam, bahasa tersebut adalah bahasa Arab. Mengapa? Karena bahasa Arab merupakan bahasa nabi dan rasul terakhir Muhammad Saw. Yang notabene orang Arab sekaligus sebagai bahasa wahyu yang diturunkan kepadanya, yaitu Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Satu hal lagi yang membuat bahasa ini istimewa adalah statusnya sebagai bahasa ibadah mahdah yang tidak bisa digantikan oleh bahasa lain. Selain itu, bahasa ini juga merupakan bahasa hadits Nabi serta kitab-kitab utama mengenai ajaran Islam. Oleh karena itu, mustahil memisahkan bahasa Arab dari Islam. Ibn Taymiyyah dalam irat al-Mustaqim bahkan berkesimpulan bahwa bahasaArab merupakan bagian Islam dan mempelajarinya merupakan salah satu tugas wajib. Mengacu pada prinsip jurisprudesi Islam (kaidah usul fikih) mengenai kesamaan hukum alat dan tujuan, ia berargumen, “Jika memahami Al-Qur’an dan hadits merupakan kewajiban, sementara keduanya tak mungkin dipahami tanpa memahami bahasa Arab, maka memahami bahasa Arab juga merupakan kewajiban”. Singkatnya, jika belajar Al-Qur’an dan Hadits wajib, maka belajar bahasa Arab pun hukumnya juga wajib. Jadi, keistimewaan bahasa Arab terletak pada peran dan fungsinya dalam memahami ajaran Islam. Dengan demikian, menjadi penutur Arab atau menguasai bahasa Arab tidak lantas membuat seseorang otomatis masuk surga. Rasulullah dalam sebuah hadits mengingatkan bahwa kualitas seseorang buka ditentukan oleh bahasa maupun asal-usul etniknya, melainkan ketakwaannya.
Oleh Baun Thoib Soaloon SGR
Staf Teknis Balai Bahasa Bahasa Banda Aceh
Staf Teknis Balai Bahasa Bahasa Banda Aceh
0 comments :
Post a Comment