Breaking News
Loading...

Hukum Membeli Barang Curian

1:08 AM
Membeli barang curian ?

Bolehkah membeli suatu barang, jika ia mengetahui bahwa barang itu adalah hasil curian.

JAWAB :

Haram hukumnya seseorang membeli suatu barang hasil curian, jika ia mengetahui bahwa barang itu adalah hasil curian. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW berkata : “Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia tahu bahwa barang itu adalah barang curian, maka ia bersekutu dalam aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Hadits Sahih. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, Juz II, hal. 164; Lihat juga Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), hal. 363)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya membeli barang curian. Namun hadits tersebut menunjukkan bahwa keharaman itu ada jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang dijual adalah barang curian. Mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) dari ungkapan ini ialah, jika pembeli tidak mengetahui, maka dia tidak turut berdosa.

Andaikata pihak pembeli tidak mengetahuinya, pihak penjual tetap berdosa. Sebab penjual tersebut berarti telah menjual sesuatu yang sebenarnya bukan hak miliknya. Ini karena barang curian sebenarnya adalah tetap hak milik bagi pemiliknya yang asli, bukan hak milik pencuri atau penjual barang curian. Padahal syariat Islam tidak membenarkan menjual barang yang bukan hak milik. Ini didasarkan pada riwayat dari Hakim bin Hizam RA, bahwa dia pernah berkata kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, seseorang telah mendatangiku lalu hendak membeli barang dagangan yang tidak ada di sisiku, kemudian aku membelikan untuknya di pasar. Rasulullah SAW menjawab,’Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu (bukan milikmu).” (HR. Abu Dawud dan Nasa`i. Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III, hal.17)

Dalam hadits tersebut, terdapat pemahaman yang bersifat umum dari sabda Nabi SAW, "Janganlah kamu menjual apa-apa yang bukan milikmu." (Arab : Laa tabi’ maa laysa ‘indaka). Perkataan Nabi “maa laysa ‘indaka” bersifat umum, sebab menggunakan kata (shighat) yang bermakna umum, yaitu “maa” (apa saja). Maka ungkapan ini mencakup barang yang belum ada pada saat akad jual-beli, seperti dalam kisah yang melatarbelakangi hadits ini, sebagaimana mencakup pula barang yang sudah ada tetapi milik orang lain yang dijual tanpa seizinnya, atau barang yang diperoleh melalui jalan yang tidak syar’i, seperti mencuri, merampok, merampas, korupsi, manipulasi, menipu, memeras, memaksa, dan sebagainya. Semuanya secara umum termasuk ke dalam kategori “menjual barang yang bukan hak milik”. Jadi kendatipun hadits tersebut mempunyai sababul wurud yang khusus, yaitu menjual barang yang belum ada, namun pengertian yang diambil adalah pengertian yang bersifat umum, berdasarkan keumuman lafazhnya. Ini sesuai kaidah ushul : “Al-‘ibrah bi-‘umuum al-lafzhi laa bi-khusus as-sabab.” (Makna yang dijadikan patokan adalah makna berdasarkan keumuman lafazh, bukan berdasarkan kekhususan sebab).

Kesimpulannya, membeli barang curian adalah haram, jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang akan dibelinya adalah barang curian. Jika dia tidak mengetahuinya, maka pihak penjual tetap memikul dosa karena dia telah menjual sesuatu yang bukan hak miliknya. Wallahu a’lam.



Sumber: muslim-kaffah000.blogspot.com

1 comments :

  1. gan, kalau misalnya ada 3 orang si A, si B, dan si C. Jika si B membeli barang si A dan si A menjualnya namun di dalam barang yang di jual terdapat tulisan dilarang disebar luaskan. Setelah si B memiliki barang tersebut, barangnya di jual lagi ke si C (si C tau bahwa barang itu berasal dari si A dan si C tau juga kalau barang itu harusnya dilarang disebarkan). Apakah si C akan menerima dosa jika membelinya? dan jika si C membelinya apakah benda tersebut akan menjadi barang haram?.

    ReplyDelete

 
Toggle Footer