Breaking News
Loading...

Memaknai Politik Syar’i

2:22 AM

Makna Politik

Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.

Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim terbagi menjadi dua macam:
  1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.
  2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)
Politik, bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata, akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental dengan sifat makar, dusta, dan licik. Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, lantas apakah keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik praktis yang ‘diimani’ partai politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk mengetahui jawabannya simaklah penjelasan berikut ini.


Fatamorgana Politik Praktis

Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam) dalam menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota lembaga legislatif (baca: politik untuk mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem tersebut tidaklah diciptakan dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk mem-fait accompli kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di negerinya sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai kesibukan politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang menganut sistem tersebut, melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya benar-benar terpantau dengan jelas oleh musuh-musuhnya.

Mungkinkah sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada kejayaannya? Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”

Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah didekati ternyata pemandangan semu belaka.

Tengoklah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna. “Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara, atau tembak mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair) yang berhasil menang pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian pun lenyap manakala militer melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam kondisi darurat’. FIS pun meradang, genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh. Pertempuran bersenjata pun terjadi, dan akhirnya pertumpahan darahlah kesudahannya. Lagi-lagi umat Islam sebagai tumbalnya. Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh ‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.

Lebih dari itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Mengapa demikian? Karena asasnya adalah demokrasi yang ‘menuhankan’ suara rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye dengan segala pelanggaran syar’i dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath (campur-baur laki perempuan). Ciri khasnya adalah persaingan ketat, bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang (nampak) menggiurkan. Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’. Wallahul Musta’an.


Apa Itu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)?

Setelah mengikuti bahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah adalah bagian dari syariat Islam. Sedangkan politik praktis, tak lain adalah ciptaan barat (baca: musuh-musuh Islam) yang tidak ada kaitannya dengan as-siyasah asy-syar’iyyah dan sudah barang tentu bukan dari Islam.

Bila demikian, apa definisi as-siyasah asy-syar’iyyah menurut terminologi syariat? Menurut terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah), dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -meskipun tidak secara nash- serta perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 126-127)

Dari sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang dengan dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah mursalah, yaitu suatu maslahat di mana tidak didapati dalil secara tegas baik yang memerintahkan maupun yang melarang. Tentunya, yang menentukan sebagai maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan sembarang orang. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim, dan yang lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 128-129)

Mengenai rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28), Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, dan selainnya.


Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, mengingat as-siyasah asy-syar’iyyah amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan, maka tentunya ada dua pihak yang saling terkait dengannya; pihak pengatur dalam hal ini adalah para penguasa (ulil amri) dan pihak yang diatur dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sahabat di bawah kepemimpinan Rasulullah dan juga masyarakat tabi’in serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan para penguasanya.


Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Menurut para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan para penguasa (ulil amri), agar mereka menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sedangkan ayat kedua turun berkaitan dengan rakyat baik dari kalangan militer maupun selainnya, agar mereka senantiasa taat kepada para penguasanya dalam hal pembagian jatah, keputusan, komando pertempuran, dan lain sebagainya. Kecuali jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh menaati makhluk (para penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah). Jika terjadi perbedaan pendapat antara para penguasa dengan rakyatnya dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Namun jika sang penguasa tidak mau menempuh jalan tersebut, maka perintahnya yang tergolong ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tetap wajib ditaati. Karena ketaatan kepada para penguasa dalam perkara ketaatan tersebut merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula hak mereka (para penguasa), tetap harus dipenuhi (oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2) [Lihat Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 245-246]

Untuk mengenal lebih jauh tentang contoh as-siyasah asy-syar’iyyah dan penerapannya, perhatikanlah poin-poin berikut ini.

1. Suatu tugas/jabatan diberikan kepada yang berhak menyandangnya, baik terkait dengan kemiliteran maupun selainnya. Pemberian tugas/jabatan tersebut tak boleh didasari kedekatan pribadi ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme). Sahabat Umar bin Al-Khaththab berkata: “Barangsiapa mempunyai suatu kewenangan terhadap urusan kaum muslimin, kemudian memberikan tugas/jabatan kepada seseorang karena kedekatan pribadi atau hubungan kekerabatan, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin.”

2. Kriteria kelayakan mendapat tugas/jabatan ada dua: kuat dan dapat dipercaya. Sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)

Kuat di sini tergantung pada tugas/jabatan yang diemban. Kuat dalam hal kepemimpinan perang tolok ukurnya adalah keberanian/ketegaran jiwa, pengalaman bertempur dengan segala tipu muslihatnya serta keahlian dalam mengatur strategi pertempuran. Kuat dalam hal memutuskan perkara (hukum) di antara manusia tolok ukurnya adalah kepahaman tentang prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kemampuan untuk merealisasikan keputusannya tersebut. Adapun dapat dipercaya (amanah), maka tolok ukurnya adalah rasa takut kepada Allah, tidak menjual ayat Allah dengan harga yang murah (hal-hal duniawi, red.) serta tidak takut terhadap (celaan) manusia (dalam keputusannya).

3. Berkumpulnya dua sifat, kuat dan dapat dipercaya pada seseorang, merupakan sesuatu yang langka. Oleh karena itu, jika ada dua orang; yang satu lebih amanah sedangkan yang lainnya lebih kuat, maka yang diutamakan adalah yang paling bermanfaat bagi (kelangsungan) tugas tersebut dan yang paling sedikit mudaratnya. Atas dasar itu, yang diutamakan dalam hal kepemimpinan perang adalah seorang yang kuat lagi pemberani/tegar jiwanya –walaupun terkadang jatuh dalam kesalahan- daripada seseorang yang lemah mentalnya –walaupun ia seorang yang dapat dipercaya-. Jika suatu tugas butuh sifat amanah yang lebih, maka diutamakanlah seorang yang dapat dipercaya, seperti tugas mengelola perbendaharaan dan yang semisalnya. Adapun tugas pendistribusian uang sekaligus pengelolaannya, dibutuhkan seorang yang kuat lagi dapat dipercaya.

Dalam hal memutuskan perkara (hukum), diutamakan hakim yang paling berilmu tentang prinsip-prinsip keadilan, paling wara’ (berhati-hati), dan paling mampu dalam merealisasikan keputusan. Jika ada dua hakim, yang satu lebih berilmu sedangkan yang lain lebih wara’ (berhati-hati), maka dalam perkara yang penyelesaian hukumnya mudah namun rawan mengikuti hawa nafsu dalam memutuskannya, diutamakanlah hakim yang lebih wara’ (berhati-hati). Sedangkan dalam perkara yang rumit penyelesaiannya dan dikhawatirkan terjadi kerancuan dalam memutuskannya, maka diutamakanlah hakim yang lebih berilmu. Kemudian jika ada dua hakim; yang satu lebih berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati), sedangkan yang lain lebih mampu dalam merealisasikan keputusan hukum (tegas), maka pada kasus yang penyelesaiannya didukung penguasa diutamakan seorang hakim yang lebih berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati). Namun pada kasus yang penyelesaiannya kurang mendapat dukungan dari berbagai pihak (kebijakan yang tidak populer) dan tidak terlalu dibutuhkan ilmu dan wara’ yang berlebih, maka diutamakan seorang hakim yang lebih mampu dalam merealisasikan keputusan hukum tersebut.

4. Pentingnya memerhatikan partner (pasangan) dalam suatu tugas. Jika pemimpin suatu tugas berkarakter lembut, maka wakilnya yang berkarakter keras. Jika pemimpin berkarakter keras, maka wakilnya yang berkarakter lembut. Demikian itu agar tercipta suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkungan tugas tersebut. Oleh karena itu, Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq (yang berkarakter lembut) lebih memilih Khalid bin Al-Walid (yang berkarakter keras) sebagai wakilnya dalam komando perang. Sedangkan Khalifah Umar bin Al-Khaththab (yang berkarakter keras) lebih memilih Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah (yang berkarakter lembut) sebagai wakilnya. Sehingga terciptalah suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkup tugas tersebut.

5. Di antara sebab langgengnya suatu kepemimpinan adalah manakala diwarnai dengan kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa. Kedermawanan di sini adalah mendistribusikan keuangan (seperlunya) kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya -walaupun mereka para tokoh-, untuk stabilisasi sosial politik, kepentingan keagamaan baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dan lain sebagainya. Adapun keberanian/ketegaran jiwa, maksudnya adalah tegar dalam mengatasi masalah, bersabar, dan tidak marah kecuali karena Allah. Suatu kepemimpinan yang jauh dari kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa tersebut, maka kepemimpinannya akan cepat berakhir dan berpindah ke tangan orang lain.

(Disarikan dari kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa juz 28 hal. 244-296)

Adapun poin-poin penting yang dapat disarikan dari kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnul Qayyim adalah sebagai berikut:

1. Tugas inti pemerintah muslim adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran) di tengah rakyatnya. Sedangkan poros keberhasilan dari seluruh tugas/jabatan pemerintahan adalah kejujuran dalam pemberian informasi/data dan keadilan dalam memutuskan suatu putusan perkara. Ada suatu tugas/jabatan yang sangat membutuhkan kejujuran pejabatnya. Seperti penanggung jawab keuangan yang bertugas mencatat arus keluar masuk uang negara dan juga para staf ahli kenegaraan yang bertanggung jawab menyampaikan informasi valid tentang perkembangan situasi dan kondisi negara kepada penguasa (ulil amri).

Ada pula tugas/jabatan yang sangat membutuhkan keadilan pejabatnya, yaitu manakala posisinya sebagai pembuat keputusan yang ditaati. Seperti para pemimpin (instansi pemerintahan) baik sipil maupun militer, hakim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kepala negara (pemimpin) untuk menjadikan orang-orang yang jujur dan adil sebagai pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahannya. Adapun rincian deskripsi tugas pada masing-masing tugas/jabatan, maka menyesuaikan situasi dan kondisi. [Hal. 184-185]

2. Diperbolehkan bagi pemerintah muslim untuk menerapkan siyasah juz’iyyah (politik parsial). Yaitu menentukan satu keputusan di luar keumuman yang terjadi, bila diyakini dapat mendatangkan maslahat yang bersifat umum bagi umat Islam. Contohnya;
  • Keputusan Khalifah Umar bin Al-Khaththab agar umat Islam (di masanya) menunaikan ibadah haji dengan jenis haji ifrad (salah satu jenis haji yang sah dengan mengkhususkan ibadah haji semata tanpa umrah). Padahal Rasulullah sangat menekankan haji tamattu’ yang padanya terdapat rangkaian ibadah haji dan juga umrah. Keputusan tersebut diambil manakala melihat Masjidil Haram lengang dari para mu’tamirin (orang-orang yang berumrah) di luar musim haji. Maka dengan keputusan tersebut Masjidil Haram pun selalu diramaikan umat Islam baik di musim haji maupun di luar musim haji.
  • Ketika terjadi pertikaian sengit antara dua orang sahabat Nabi di masa kekhalifahan Utsman bin Affan dalam hal bacaan Al-Qur’an dan sama-sama bersaksi bahwa itulah yang didapat dari Rasulullah, maka Khalifah Utsman bin Affan (dengan kesepakatan para sahabat Nabi) memerintahkan penyusunan Al-Qur’an untuk kali kedua dengan satu dialek bacaan saja di antara dialek-dialek yang didapat dari Nabi. Kemudian membakar mushaf-mushaf selainnya. [Hal. 10-18]

3. Bagi hakim selaku pemberi amar putusan dalam suatu perkara, diperbolehkan untuk:
  • Mengatakan sesuatu yang sebenarnya ia tidak akan melakukannya: “Saya akan lakukan demikian”, dalam rangka melacak kebenaran pihak yang ditanganinya.
  • Memutuskan sesuatu yang menyelisihi pernyataan/pengakuan pihak yang berseteru, manakala meyakini bahwa yang benar tidaklah seperti apa yang dinyatakan pihak yang berseteru tersebut.
  • Membatalkan putusan yang dijatuhkannya disebabkan adanya putusan lain dari hakim yang setara atau lebih mumpuni darinya.

    Dasar dari semua itu adalah sabda Rasulullah : “Dahulu ada dua orang wanita (masing-masing) bersama anaknya. Tiba-tiba datang seekor serigala memangsa salah satu dari anak keduanya. Kedua wanita itu pun mengklaim bahwa anak yang dimangsa tersebut bukan anaknya, akan tetapi anak kawannya. Akhirnya keduanya pergi ke Nabi Dawud untuk menyelesaikan perkaranya. Maka diputuskanlah bahwa anak yang ada saat ini adalah milik wanita (ibu) yang lebih tua. Kemudian keduanya pergi ke Nabi Sulaiman bin Dawud  dan menyampaikan putusan Nabi Dawud tersebut. Nabi Sulaiman berkata: “Datangkanlah kepadaku sebilah pisau untuk memotong anak tersebut menjadi dua bagian.” Maka dengan spontan wanita (ibu) yang lebih muda mengatakan: “Jangan kau lakukan itu -semoga Allah merahmatimu- sungguh anak tersebut miliknya.” Akhirnya Nabi Sulaiman  pun memutuskan bahwa anak tersebut milik wanita (ibu) yang lebih muda. (HR. Al-Bukhari no. 3427)
  • Memutuskan suatu putusan berdasarkan indikasi kuat, manakala diyakini dapat mengantarkan kepada putusan yang tepat. Sebagaimana yang ditempuh Raja Mesir Al-Aziz seputar kasus istrinya yang menuduh Nabi Yusuf berbuat tak senonoh terhadap dirinya. Dengan melihat posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf yang berada di bagian belakang, maka diputuskanlah oleh Al-Aziz bahwa yang salah adalah istrinya. Karena posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf yang berada di bagian belakang merupakan indikasi kuat bahwa istrinyalah yang mengajak Nabi Yusuf untuk melakukan perbuatan tak senonoh itu. Ketika Nabi Yusuf tak menyambut ajakannya lalu pergi meninggalkannya, wanita itu pun berupaya mengejar Nabi Yusuf dan menggapai baju gamis beliau hingga koyak di bagian belakangnya. Allah berfirman:

    “Maka tatkala suami wanita itu (Al-Aziz) melihat baju gamis Yusuf koyak di bagian belakang, berkatalah dia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu (istrinya), sesungguhnya tipu daya kamu sangatlah besar’.” (Yusuf: 28) [Hal. 4-5]

4. Putusan perkara yang dijatuhkan kepada anggota masyarakat (rakyat), bermuara pada dua kasus:

a. Pengaduan (tuduhan) satu pihak terhadap pihak lainnya, baik dalam perkara pidana maupun perdata.

Dalam kasus ini, pihak yang diadukan/dituduh terdiri dari tiga jenis;

  • Pertama: Si tertuduh dinyatakan bersih dari tuduhan tersebut. Maka menurut kesepakatan ulama, dia tidak boleh dihukum. Sedangkan si penuduh dijatuhi hukuman atas tuduhan dustanya itu.
  • Kedua: Si tertuduh adalah seorang yang majhul (tidak jelas keadaannya) dari jenis orang baik ataukah tidak. Maka untuk sementara waktu ia ditahan hingga jelas duduk permasalahannya.
  • Ketiga: Si tertuduh dikenal dengan kejahatannya. Maka dia ditahan hingga jelas duduk permasalahannya. Khusus jenis ini, boleh diancam dengan kekerasan atau dipukul jika diperlukan. Adapun cara dalam memutuskan suatu putusan perkara dalam kasus pengaduan/tuduhan tersebut ada 25 cara, sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim dalam kitabnya di atas hal. 83-182.

b. Pelanggaran yang murni terkait dengan pelaksanaan agama, baik dalam hal ibadah, muamalah, akhlak, dan lain sebagainya (tak terkait secara langsung dengan pengaduan/tuduhan).

Untuk menanganinya, maka pemerintah muslim membentuk tim/badan khusus yang dalam kitab fiqh disebut Al-Hisbah. Tugas pokoknya adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran). Merekalah yang bertugas memerintahkan orang-orang untuk menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Memberikan sanksi terhadap orang yang tidak shalat baik dengan pukulan maupun penjara. Mengontrol para imam masjid dan muadzin. Memerintahkan orang-orang untuk shalat Jum’at, shalat berjamaah, menunaikan amanah, dan berlaku jujur. Menyampaikan nasihat baik dengan ucapan maupun perbuatan. Melarang dari perbuatan khianat, mengurangi timbangan dan sukatan, serta berlaku curang dalam produksi barang dan perdagangannya. Mengontrol para produsen makanan maupun pakaian serta melarang mereka untuk memproduksi produk-produk yang diharamkan dalam agama ini. Melarang transaksi yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, seperti riba dan segala transaksi yang mengandung unsur judi. Menormalkan harga pasar dan mencegah para pedagang dari menimbun barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menekan para penimbun tersebut agar menjualnya dengan harga pasar yang wajar, dan lain sebagainya. [183-223]

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, demikianlah selayang pandang tentang as-siyasah asy-syar’iyah (politik yang syar’i) yang dapat disajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga sedikit sajian tersebut dapat membuka cakrawala berpikir umat tentang kehidupan beragama sekaligus menjadi motivator untuk semakin mendalami agama Islam yang haq ini.

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.)
sumber : asysyariah.com


0 comments :

Post a Comment

 
Toggle Footer