Kontribusi mahasiswa dipentas perjuangan bangsa pada setiap lintasan sejarah hampir selalu menorehkan tinta emas. Peran mereka melepaskan Republik ini dari cengkraman penjajah asing 1945, menumbangnya rezim Soekarno 1966, serta jatuhnya kepemimpinan otoriter Soeharto 21 Mei 1998 telah menjadi saksi dan fakta sejarah bahwa mahasiswa negeri ini senatiasa konsisten dalam melakukan perubahan. Rekaman sejarah gerakan mahasiswa dengan warna heroiknya menjadi cermin ketulusan mereka yang selalu berpijak pada kerangka moral, bukan kerangka-kerangka lain yang bernuansakan kepentingan-kepentingan sesat.
Sejarah pun membuktikan bahwa posisi ideal mahasiswa akan selalu bersentuhan dengan setiap detak jantung masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal tersebut bisa diketahui dari maraknya aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa, sehingga suara-suara mereka semakin nyaring terdengar dan berhasil mentranformasikan gerakannya dalam kerangka student movement ke social movement[1]. Mereka akan selalu menjadi pendobrak ketika telah terjadi kezaliman dan ketidakadilan. Begitu juga, mereka akan selalu menjadi kalangan pemberani, kritis, sedikit nakal dan urakan atau bahkan menjadi pemberang ketika di depan matanya terjadi pemerkosaan nilai-nilai kemanusiaan seorang individu atau segolongan masyarakat. Sikap yang diperlihatkan mahasiswa bagi Mochtar Lubis merupakan gambaran bahwa suara hati nurani mahasiswa memang berkumandang dalam hati rakyat (masyarakat)[2]. Dengan mengambil sikap yang demikian gerakan mahasiswa berhasil membangun opini strategis dan menjadi milik masyarakat luas yang mendambakan terciptanya reformasi dan juga suksesi di Indonesia.
Melihat sikapnya yang menonjol inilah mahasiswa tak pernah lepas dari sorotan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Idiom-idiom agent of change, agent of social control, dan agent moral force, adalah sebagian gelar yang disandangkan masyarakat kepada mahasiswa yang telah membuktikan eksistensinya sebagai pejuang reformasi[3]. Pemberian gelar-gelar tersebut kepada mahasiswa rasa-rasanya bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena pada kenyataannya mereka mampu mengharumkan dan menghiasi suka dan duka perjuangan bangsa Indonesia.
Beberapa gelar yang melekat pada mahasiswa memang tidak dapat dipisahkan, terlebih perannya sebagai agent of sosial control. Mahasiswa sebagai agen kontrol sosial diibaratkan seperti sebuah lonceng besar yang setiap waktu dapat berbunyi dengan sangat keras untuk mengingatkan dan menyadarkan pihak lain ketika mereka sedang lupa diri. Mereka harus terus memantau setiap proses perubahan yang sedang berjalan, agar arah dan tujuan perubahan yang dicita-citakan tidak melenceng dari tujuan awal.
Dalam posisinya sebagai agen kontrol sosial, mahasiswa harus bertindak objektif, logis, rasional, dan proporsional agar dapat melakukan justifikasi obyektif terhadap setiap persoalan yang terjadi. Dengan mengambil posisi penengah/pengontrol situasi dan keinginan masyarakat, aktivitas mahasiswa dilihat pula sebagai salah satu ukuran kepuasan masyarakat[4].
Mahasiswa yang mengambil posisi kontrol sosial tentu saja harus mempunyai konsensus bersama mengenai format Indonesia masa depan untuk kemudian menggiring ke arah tersebut. Format ini akan menjadi semacam visi besar mahasiswa yang harus ditegaskan kepada seluruh pelaku politik. Dalam mainframe inilah mahasiswa bisa menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosialnya dengan menggunakan mass power dan institusional power yang dimilikinya[5].
Kontrol sosial yang dilakukan yakni berkaitan dengan segala hal yang terjadi di negeri Indonesia, terutama yang berhubungan tentang tindakan-tindakan/kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.
Belakangan hubungan mahasiswa sebagai agen kontrol sosial dengan pemerintah telah menemukan suatu bentuk yang ideal. Menurut pengamat sosial-politik Adhie M. Massardi mengatakan bahwa mahasiswa diumpamakan sebagai angin dan pemerintah sebagai pohon[6]. Analogi ini mengilustrasikan bahwa ketika sebuah pohon terdapat ranting-ranting dan daun-daun kering yang sudah tidak mempunyai fungsi stategis, maka angin akan membersihkannya. Angin secara aktif juga membantu menebarkan serbuk-serbuk bunga yang ada pada pohon agar dapat memberikan manfaat bagi unsur yang ada di bawahnya (rakyat).
Fungsi kontrol sosial dilakukan terhadap kinerja pemerintah beserta aparatur negara lainnya menjadi sangat penting dilakukan oleh mahasiswa agar tercipta suatu tatanan pemerintahan yang bersih dan terkontrol dengan baik oleh masyarakat[7]. Bagi mahasiswa fungsi kontrol yang ada di lembaga legislatif tidak berjalan secara maksimal dalam melakukan kontrol terhadap lembaga eksekutif sebagai penyelenggara negara yang dituntut melakukan perbaikan-perbaikan terhadap negara yang tidak kunjung menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
Di sisi lain mahasiswa dituntut untuk mampu menjelaskan kepada masyarakat tentang kebijakan pemerintah serta menggenjot kesadaran mereka agar mengerti dan memahami persoalan yang terjadi[8]. Bentuk pemberian penjelasan tersebut sebagai salah satu langkah konkret yang dilakukan mahasiswa dalam menumbuhkan sikap kritis kepada masyarakat, sehingga mereka dapat memahami dan bertindak atas permasalahan yang dihadapi.
Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa sebagai bentuk kontrol sosial kepada pemerintah mulai dipahami oleh masyarakat. Mereka mengangap mahasiswa mampu menjadi lokomotif bagi kesadaran semua pihak. Walaupun terkadang tindakan/aksi yang dipertontonkan terlihat tidak sopan, tapi nyatanya cukup ampuh menciptakan perubahan besar dalam tatanan demokrasi di Indonesia.
Sebagai seseorang yang dicap mempunyai intelektualitas yang baik, seharusnya mahasiswa mampu berpikir dan menciptakan hal yang baru[9]. Ini sangat dibutuhkan mengingat fungsinya sebagai agen kontrol sosial yang begitu penting. Cara yang bisa ditempuh yakni dengan melakukan dialog atau diskusi ketika menyikapi apa yang dianggap menjadi pekerjaan rumah suatu bangsa. Dialog atau diskusi tersebut merupakan pengembalian basis mahasiswa sebagai gerakan pemikir yang menghasilkan perubahan-perubahan ke arah perbaikan bukan sebaliknya. Dengan cara yang demikian fungsi kontrol sosial akan terlihat lebih baik, tidak hanya itu mahasiswa mampu menghimpun seluruh komponen bangsa dan segenap kekuatan reformasi pada derap langkah yang sama.
Referensi:
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Kekuatan Politik , dan Pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), cet. 1.
Fahrus Zaman Fadhly, Mahasiswa Menggugat, Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet 1.
Haryo Setioko dalam Suara Mahasiswa, Suara Rakyat, (Bandung: PT Remaja Rosda, 1998), cet. 1.
Mochtar Lubis, Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya, Seri 2: Korupsi dan Ekonomi, Pendidikan dan Generasi Muda, Hukum, ABRI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), edisi 1.
Muhammad Rifai, Soe Hok Gie: Biografi Sang Demonstran, (Yogyakarta: Garasi House of Book, 2010), cet 1.
Pradipto Yoedhanegara, Desentralisasi Gerakan Mahasiswa, (Jakarta: DPP Aliansi Wartawan Indonesia, 2005), cet. 1.
;-( ;-( ;-( ;-( ;-(
ReplyDelete