Syariat Islam yang mulia ini datang dengan kesempurnaan. Tidak ada satu sisi kehidupan pun yang luput dari perhatiannya. Semua permasalahan didapatkan aturannya dalam Islam, sampai-sampai dalam perkara buang hajat ada adabnya.
Satu perkara yang juga tidak lepas dari pengaturan Islam adalah masalah menjenguk orang sakit, yang dijadikan sebagai salah satu hak muslim terhadap muslim yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah :
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima yaitu menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin (bila yang bersin mengucapkan hamdalah, pent.).” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 5615)
Hukum menjenguk orang sakit adalah fardhu kifayah. Artinya, bila ada sebagian orang yang melakukannya maka gugur kewajiban dari yang lain. Bila tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka wajib bagi orang yang mengetahui keberadaan si sakit untuk menjenguknya.
Kemudian yang perlu diketahui, orang sakit yang dituntunkan untuk dijenguk adalah yang terbaring di rumahnya (atau di rumah sakit) dan tidak keluar darinya. Adapun orang yang menderita sakit yang ringan, yang tidak menghalanginya untuk keluar dari rumah dan bergaul dengan orang-orang, maka tidak perlu dijenguk. Namun bagi orang yang mengetahui sakitnya hendaknya menanyakan keadaannya. Demikian penjelasan Syaikh yang mulia Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya Syarhu Riyadhish Shalihin (3/55).
Keutamaan yang besar dijanjikan bagi seorang muslim yang menjenguk saudaranya yang sakit seperti ditunjukkan dalam hadits-hadits berikut ini:
Tsauban mengabarkan dari Nabi, sabda beliau:
إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Sesungguhnya seorang muslim bila menjenguk saudaranya sesama muslim maka ia terus menerus berada di khurfatil jannah hingga ia pulang (kembali).” (HR. Muslim no. 6498)
Dalam lafadz lain (no. 6499):
مَنْ عَادَ مَرِيْضًا، لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا خُرْفَةِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: جَنَاهَا
“Siapa yang menjenguk seorang yang sakit maka ia terus menerus berada di khurfatil jannah.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah khurfatil jannah itu?”. Beliau menjawab, “Buah-buahan yang dipetik dari surga.”
Ali berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُوْدُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلاَّ صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ عَشِيَّةً إِلاَّ صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيْفٌ فِي الْجَنَّةِ
“Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain di pagi hari melainkan 70.000 malaikat bershalawat atasnya (memintakan ampun untuknya) hingga ia berada di sore hari. Dan jika ia menjenguknya di sore hari maka 70.000 malaikat bershalawat atasnya (memintakan ampun untuknya) hingga ia berada di pagi hari. Dan ia memiliki buah-buahan yang dipetik di dalam surga.” (HR. At-Tirmidzi no. 969, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5767 dan Ash-Shahihah no. 1367)
Ada beberapa adab yang perlu diperhatikan oleh seseorang bila hendak menjenguk orang sakit, sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin. Di antaranya:
1. Ia melakukan amalan tersebut dengan niat menjalankan perintah Nabi.
2. Ia meniatkan untuk berbuat baik kepada saudaranya dengan menjenguknya, karena seorang yang sakit bila dijenguk saudaranya akan merasa senang dan menjadi lapang hatinya.
3. Ia gunakan kesempatan membesuk tersebut untuk memberikan arahan kepada si sakit dalam perkara yang bermanfaat baginya, seperti menyuruhnya bertaubat, istighfar, dan menyelesaikan hak-hak orang yang lain yang belum dipenuhinya.
4. Bisa jadi si sakit memiliki permasalahan tentang bagaimana tata cara thaharah atau shalat selama sakitnya atau yang semisalnya, maka bila si penjenguk punya ilmu tentangnya hendaknyalah ia mengajarkan kepada si sakit.
5. Ia melihat mana yang maslahat bagi si sakit, apakah dengan ia lama berada di sisi si sakit atau cukup sebentar saja. Bila ia melihat si sakit senang, terlihat gembira dan menyukai bila ia berlama-lama di tempat tersebut, hendaknya ia pun menahan dirinya lebih lama bersama si sakit dalam rangka membagi kebahagiaan kepada saudaranya. Namun bila ia melihat yang sebaliknya, hendaklah ia tidak berlama-lama di tempat tersebut.
6. Hendaknya ia mengingat nikmat Allah berupa kesehatan yang sedang dinikmatinya, karena biasanya seseorang tidak mengetahui kadar nikmat Allah kepadanya kecuali bila ia melihat orang yang ditimpa musibah berupa kehilangan nikmat tersebut. Dengan nikmat tersebut, ia memuji Allah k dan memohon agar melanggengkannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, hal. 55-56)
Wanita tidaklah berbeda dengan lelaki dalam pensyariatan menjenguk orang sakit ini. Artinya, wanita pun disenangi menjenguk orang sakit. Tentunya ia keluar dari rumahnya menuju tempat si sakit dengan memerhatikan adab-adab syar’i, seperti menutup aurat, tidak memakai wangi-wangian, menjaga rasa malu, menjaga diri dari fitnah, dan sebagainya.
Ummul Mukminin Aisyah, istri Rasulullah yang mulia pernah menjenguk ayahnya, Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Bilal yang sedang sakit. Aisyah mengabarkan:
لمَاَّ قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ n الْمَدِيْنَةَ وُعِكَ أَبُوْ بَكْرٍ وَبِلاَلٌ c قَالَتْ: فَدَخَلْتُ عَلَيْهِمَا، قُلْتُ: يَا أَبَتِ، كَيْفَ تَجِدُكَ؟ وَيَا بِلاَلُ، كَيْفَ تَجِدُكَ؟ قَالَتْ: وَأَبُوْ بَكْرٍ إِذَا أخَذَتْهُ الْحُمَّى يَقُوْلُ:
كُلُّ امْرِئٍ مُصَبَّحٌ فِي أَهْلِهِ وَالْمَوْتُ أَدْنَى مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ
وَكَانَ بِلاَلٌ إِذَا أَقْلَعَ عَنْهُ الْحُمَى يَرْفَعُ عَقِيْرَتَهُ وَيَقُوْلُ:
أَلاَ لَيْتَ شَعْرِي هَلْ أُبَيِّتُنَّ لَيْلَةً بِوَادٍ وَحَوَلَي إِذْخِرٍ وَجَلِيْلُ
وَهَلْ أَرِدَن يَوْمًا مِيَاهَ مِجَنَّةٍ وَهَلْ تَبْدُوْنَ لِي شَامةٌ وَطَفِيلُ
قاَلَتْ عَائِشَةُ: فَجِئْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ، حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِيْنَةَ، كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ وَصَحِّحْهَا وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّهَا وَصَاعِهَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا فَاجْعَلْهَا بِالْجُحْفَةِ
Tatkala Rasulullah tiba di Madinah (awal hijrah beliau ke Madinah), Abu Bakr dan Bilal ditimpa penyakit huma (demam dengan panas yang sangat tinggi). Aku pun masuk menemui keduanya. Aku katakan, “Wahai ayahku, bagaimana engkau dapatkan keadaan dirimu? Dan engkau, wahai Bilal, bagaimana engkau dapatkan keadaan dirimu?”
Kata Aisyah: “Adalah Abu Bakr bila demam yang tinggi menyerangnya, ia berkata:
‘Setiap orang ditimpa kematian di pagi hari dalam keadaan ia berada di tengah keluarganya.
Dan kematian lebih dekat dengannya daripada tali sandalnya.’
Adapun Bilal, bila sakit telah hilang darinya, ia mengangkat suaranya sembari menangis dan berkata:
‘Aduhai apa kiranya suatu malam aku sungguh-sungguh akan bermalam di suatu lembah dan di sekitarku ada tumbuhan idzkhir dan jalil
Adakah suatu hari aku sungguh akan mendatangi Miyah Mijannah
Dan adakah akan tampak bagiku Syamah dan Thafil.’1
Aisyah berkata, “Aku mendatangi Rasulullah lalu mengabarkan kepada beliau tentang hal itu. Beliau pun berdoa, ‘Ya Allah, cintakanlah kepada kami Madinah, sebagaimana kecintaan kami kepada Makkah atau lebih. Ya Allah, sehat/baikkanlah kota ini dan berkahi kami dalam mud dan sha’-nya, dan pindahkanlah huma-nya, lalu letakkanlah huma ini di Juhfah’.” (HR. Al-Bukhari no. 3926. Dalam riwayat Muslim no. 3329 hanya lafadz: Aisyah berkata, “Aku mendatangi Rasulullah … dst)
Bila yang dijenguk si wanita adalah sesama wanita atau lelaki dari kalangan mahramnya, maka tidak ada permasalahan. Yang jadi masalah bagaimana bila yang sakit adalah lelaki ajnabi (bukan mahram), bolehkah seorang wanita ajnabiyah menjenguknya?
Masalah ini terjawab dari hadits Aisyah di atas, di mana Aisyah menjenguk Bilal. Wallahu a’lam bish-shawab, tentunya selama aman dari fitnah.
Rasulullah selain menjenguk para sahabatnya yang sedang sakit, beliau juga pernah menjenguk para sahabiyah sebagaimana ditunjukkan dalam dua hadits berikut ini:
Jabir bin Abdillah memberitakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n دَخَلَ عَلَى أُمِّ السَّائِبِ– أَوْ أُمَّ الْمُسَيِّبِ- فَقَالَ: مَا لَكَ يَا أُمَّ السَّائِبِ– أَوْ: يَا أُمَّ الْمُسَيِّب- تُزَفْزِفِيْنَ؟ قَالَتْ: الْحُمَّى، لاَ بَارَكَ اللهُ فِيْهَا. فَقَالَ: لاَ تَسُبِّي الْحُمَى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ، كَمَا يُذْهِبُ الْكِيْرُ خَبثَ الْحَدِيْدِ
Rasulullah membesuk Ummus Sa`ib –atau Ummul Musayyib–, beliau berkata, “Kenapa engkau wahai Ummus Sa`ib –atau Ummul Musayyib– terlihat gemetaran?” Dia menjawab, “Saya sakit humma, semoga Allah tidak memberkahi penyakit ini.” Rasulullah bersabda, “Jangan engkau mencaci humma, karena penyakit ini akan menghilangkan kesalahan-kesalahan anak Adam sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran besi.” (HR. Muslim no. 6515)
Ummul ‘Ala’ mengabarkan:
عَادَنِي رَسُوْلُ الله n وَأَنَا مَرِيْضَةٌ، فَقَالَ: أَبْشِرِيْ يَا أُمَّ الْعَلاَءِ، فَإِنَّ مَرَضَ الْـمُسْلِمِ يُذْهِبُ اللهُ بِهِ خَطاَياَ كَمَا تُذْهِبُ النَّارُ خَبَثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
Rasulullah menjengukku dalam keadaan aku ditimpa sakit. Beliau bersabda, “Bergembiralah wahai Ummul ‘Ala’2, karena dengan sakitnya seorang muslim Allah akan menghilangkan darinya kesalahan-kesalahan sebagaimana api menghilangkan kotoran dari emas dan perak (yang ditempa).” (HR. Abu Dawud no. 3092, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Ash-Shahihah no. 714)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya dengan: bab ‘Iyadatun Nisa’ (bab menjenguk wanita yang sakit). Tentunya hal ini dilakukan selama aman dari fitnah (godaan).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Nama dua gunung dekat Makkah.
2 Ummul ‘Ala’ Al-Anshariyyah adalah ‘ammah (bibi dari pihak ayah) Hizam bin Hakim bin Hizam.
#Majalah AsySyariah Edisi 046
0 comments :
Post a Comment